Sujud Sahwi Menurut Madzhab Hanafi

by -502 views

 

Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sebab-sebab yang menjadikan menimbulkan sujud sahwi. Karena itu, ada baiknya kita jelaskan sebab-sebab tersebut dalam tiap madzhabnya agar lebih detail. Kali ini akan dibahas menurut madzhad hanafi. Semoga dapat bermanfaat dalam memahami sujud sahwi ini

Madzhab Hanafiyyah

Sujud sahwi dilakukan karena meninggalkan sesuatu dalam shalat, baik sengaja maupun lupa . Atau menambahkan sesuatu dalam shalat karena lupa. Atau mengubah posisi ka­ rena lupa. Perinciannya sebagai berikut:

1 Sujud sahwi tidak dilakukan dalam kesengajaan kecuali tiga perkara, sengaja me­ ninggalkan atau mengakhirkan duduk pertama. Sengaja melakukan sujud dari rakaat pertama hingga akhir shalat, dan sengaja berpikir hingga menghabiskan masa kira­ kira satu rukun.

2. Sujud sahwi dilakukan karena lupa hingga meninggalkan salah satu perkara wajib dalam shalat, baik berupa penambahan, pengurangan, mendahulukan,maupun mengakhirkan. Perkara yang wajib dalam shalat itu semuanya berjumlah    Enam di antaranya termasuk wajib asliyyah. Sebelas hal itu sebagai berikut:

Pertama, tidak membaca surah al-Faatihah atau sebagiannya pada dua rakaat pertama shalat fardhu.

Kedua, tidak membaca surah  atau tiga ayat pendek, atau satu ayat panjang setelah membaca surah al-Faatihah pada dua rakaat pertama shalat fardhu.

Ketiga, mengacak dan membolak-balikkan suara bacaan dalam shalat sehingga yang seharusnya dibaca keras malah dibaca pelan, dan yang seharusnya dibaca pelan malah dibaca keras. Jika seseorang membaca dengan suara lantang dalam shalat-shalat yang sirriyyah pada siang hari, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar,dan membaca dengan  suara  rendah  pada  shalat-shalat jahriyyah malam hari, yaitu shalat Subuh, Maghrib, dan Isya maka ia harus sujud sahwi.

Keempat, meninggalkan duduk awal pada tasyahud pertama, baik dalam shalat yang tiga rakaat maupun empat.

Kelima, tidak membaca tasyahud pada duduk terakhir.

Keenam,tidak menjaga tertib dalam gerakan yang berulang dalam tiap satu rakaat. Yaitu pada sujud kedua tiap rakaatnya. Artinya, jika seseorang hanya melakukan satu kali sujud karena lupa, lantas berdiri ke rakaat kedua hingga sujud lagi.  Kemudian ia teringat kurang sujud pada rakaat pertama,  dan  ia  menambahkan sujud pada rakaat kedua maka wajib baginya untuk melakukan sujud sahwi karena meninggalkan terbit dalam shalat.

Adapun jika tidak menjaga tertib dalam gerakan yang tidak berulang dalam tiap rakaatnya, misalnya seseorang melakukan takbiratul ihram lantas ruku. Setelah itu bangkit dari ruku’ dan membaca surah al-Faatihah beserta surah lain maka ia harus mengulangi rukunya lagi, dan sujud sahwi di akhir shalat. Begitu juga dengan meninggalkan sujud tilawah pada tempatnya . Dan setiap keterlambatan atau

perubahan di posisi fardhu, seperti duduk sebagai ganti berdiri dan sebaliknya maka hal itu mewajibkan sujud sahwi.

Ketujuh, tidak melakukan tuma’ninah yang wajib dalam ruku dan sujud. Siapa saja yang meninggalkannya karena lupa wajib menggantinya dengan sujud sahwi menurut pendapat yang shahih.

Kedelapan, mengubah posisi bacaan dalam fardhu, seperti mendahulukan surah lain daripada surah al-Faatihah, atau membaca surah pada dua rakaat terakhir dalam shalat empat rakaat, atau pada rakaat ketiga dalam shalat tiga rakaat.

Kesembilan, tidak membaca doa qunut subuh. Jika seseorang langsung ruku sebelum membaca doa qunut maka dianggap sudah dianggap tidak membacanya dan baginya untuk sujud sahwi.

Kesepuluh, meninggalkan takbir doa qunut.

Kesebelas, meninggalkan keseluruhan atau sebagian  takbir-takbir  dalam  shalat Id, atau meninggalkan takbir  ruku pada rakaat kedua shalat Id karena itu hukumnya wajib, berbeda dengan takbir pada rakaat pertama.

 

3- Menambahkan gerakan dalam shalat yang tidak termasuk gerakan shalat, seperti misalnya melakukan dua kali ruku’, maka harus sujud sahwi.

Kembali pada posisi yang terlupakan: siapa saja yang lupa dan tidak melakukan duduk pertama, lantas langsung ingat ketika ia hendak bangkit, namun lebih dekat pada posisi duduk maka ia harus kembali pada posisi duduk untuk membaca tasyahud. Akan tetapi jika lebih dekat pada posisi berdiri maka tidak perlu kembali pada posisi duduk, hanya saja nanti melakukan sujud sahwi. Jika seseorang lupa dan bangkit berdiri, padahal sudah pada rakaat terakhir maka ia harus duduk dan membatalkan rakaat tambahan tersebut, selama belum sujud. Kemudian melakukan sujud sahwi. Akan tetapi jika rakaat tambahannya itu sudah sampai sujud maka shalat fardhunya  batal, dan shalat yang dilakukan itu menjadi shalat sunnah, menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf. Dan disunnahkan baginya untuk menambahkan lagi satu rakaat.

Jika pada rakaat keempat, seseorang duduk seukuran bacaan tasyahud , lantas ia berdiri tanpa mengucapkan salam karena mengira duduknya itu duduk pertama maka ia harus kembali duduk selama belum sujud pada rakaat tambahan itu. Kemudian salam. Akan tetapi jika pada rakaat tambahan itu sudah sampai pada sujud, maka disunnahkan untuk menambah lagi satu rakaat. Dengan begitu shalatnya telah sempurna karena ada duduk terakhir pada tempatnya, dan dua rakaat tambahan itu menjadi sunnah.

 

Bimbang dan ragu dalam shalat: jika seseorang bimbang dalam shalat, dan tidak tahu sudah shalat tiga atau empat rakaat. Jika memang itu pertama kali lupa, artinya penyakit lupa itu bukan suatu kebiasaan baginya, dan bukan berarti tidak pernah lupa maka shalatnya batal dan wajib mengulang dari awal.  Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu Umar mengenai orang yang bimbang dalam rakaat shalat, tiga ataukah empat rakaat? Ibnu Umar berkata , “Orang itu harus mengulang shalatnya hingga ingat. Karena jika ia memulai dari awal, berarti menjalankan shalat fardhu dengan yakin dan sempurna. Jika ia mengambil rakaat yang sedikit maka ia tidak melakukannya dengan sempurna. Kemudian, jika keraguan itu muncul setelah salam maka tidak perlu mengulangi nya lagi, sebagaimana jika misalnya keraguan itu muncul setelah duduk  seukuran  bacaan  tas yahud sebelum salam.”

Jika seseorang sering mengalami keraguan, maka yang diambil adalah yang sudah menjadi kebiasaan. Jika ia punya perkiraan yang lebih tepat maka ia ambil salah satu dari dua perkiraan karena sulit memulai shalat jika sering bimbang. Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang bimbang dalam shalat, maka pilihlahyang benar.

Jika seseorang yang ragu dalam shalat dan tidak punya perkiraan atau pendapat maka sebaiknya mengambil bilangan rakaat yang sedikit , artinya jumlah itu yang mendekati yakin dan kebenaran. Jika dalam shalat empat rakaat seseorang bimbang pada rakaat pertama atau kedua , maka dia dipersilakan untuk memilih yang lebih tepat, dan jika tidak mampu maka keputusan diambil pada rakaat yang sedikit. Dalil yang memerintahkan untuk mengambil rakaat yang sedikit adalah hadits Abu Sa’id al­ Khudri yang berbunyi,

“jika salah seorang kalian bimbang dalam shalat dan tidak tahu apakah shalatnya baru tiga rakaat atau sudah empat, maka buanglah keraguan itu dan ambillah bilangan rakaat yang sedikit.